Entri Populer

Minggu, 17 Juli 2011

KI AGENG PURWOTO SIDIK

Semasa hidupnya Ki Ageng Purwoto Sidik merupakan guru dari Joko Tingkir yang kelak kemudian hari berhasil menjadi raja di Kerajaan Pajang. Lokasi berada di Dusun Sarean, Kelurahan Jatingarang, Kecamatan Weru, Sukoharjo.
Ingin mengetahui sejarah dari Ki Ageng Purwoto Sidik ? Berikut cerita sejarah yang kami kutip dari berbagai sumber.

Pengembaraan Kyai Purwoto Sidik meninggalkan banyak petilasan di berbagai daerah. Namun, karena di tiap daerah selalu berganti nama, banyak orang meragukan petilasan itu. Banyubiru lalu menjadi kata kunci kepastian jati diri tokoh mistis ini.

SEJAK peristiwa mistis di Rawapening, Kyai Purwoto Sidik kawentar dengan julukan Ki Ageng Banyubiru. Semula julukan itu hanya digunakan pengikutnya, tapi kemudian menjadi lebih umum.
Perjalanan Kyai Purwoto Sidik berlanjut ke Purwokerto. Hampir di setiap tempat beliau juga bertapa. Setelah tujuh tahun di Purwokerto lalu hijrah ke Rejosari Semin Gunungkidul. Beliau hidup di tengah hutan Kali Goyang.
Makam Ki Ageng Purwoto Sidik
Makam Ki Ageng Purwoto Sidik

Ketika tapa-brata beliau bersandar di pohon Jati. Di hutan itu, beliau berganti nama menjadi Ki Ageng Purwoto Sidik Perwitosari. Tujuh tahun kurang dua puluh satu hari, beliau didatangi seseorang dari Serang yang mengaku sebagai cucu. Kyai Purwoto Sidik yang waskita sudah mengetahui sebelumnya. Beliau tak ingin ditemui, dan segera meninggalkan alas Kali Goyang cucu itu tiba. Namun, orang itu terus mengejar. Setelah bertemu, orang Serang itu menyatakan ingin berguru. Dengan tegas Kyai Purwoto Sidik menolaknya. Ketika terjadi perdebatan antara keduanya mendadak pohon Jati tempat bertapa Kyai Purwoto Sidik tumbang.

Makam Ki Ageng Purwoto Sidik
Tumbangnya pohon Jati di alas Kali Goyang, menurut Mbah Amad, menjadi tetenger atau tanda putusnya hubungan Kyai Purwoto Sidik dengan seseorang dari Serang yang mengaku sebagai cucunya tersebut.
SESUDAH peristiwa di alas Kali Goyang, lalu meneruskan pengembaraan sampai di Jatingarang Sukoharjo. Dulu bernama alas Wonogung. Beliau tapa kungkum di sendang setempat. Dan lagi-lagi, air sendang Wonogung mendadak berubah biru. Sendang itu pun lalu dinamai Banyubiru.

Makam Ki Ageng Purwoto Sidik
Kini kawasan sendang telah berubah menjadi dusun Banyubiru. Dan nama Ki Banyubiru makin kondang.
Dusun Banyubiru berada di selatan kota Solo, disebut-sebut sebagai tempat pertama Joko Tingkir berguru. Joko Tingkir kemudian ke Gunung Majasto lalu ke Pajang. Jalur getheknya menjadi dasar penamaan dusun-dusun di wilayah itu, yakni Watu Kelir, Toh Saji, Pengkol, Kedung Apon dan Kedung Srengenge.
Selain Sendang Banyubiru, ada delapan sendang lain petilasan Kyai Purwoto Sidik, yakni sendang Margomulyo, Krapyak, Margojati, Bendo, Gupak Warak, Ndanumulyo, Siluwih dan Sepanjang.
Sendang Gupak Warak berada di Wonogiri, dan lainnya tersebar di Weru Sukoharjo. Semua
sendang itu, kini airnya menyusut. Bahkan, sendang Banyubiru tak lagi mengeluarkan air, dan dibiarkan menjadi kolam kering penampung air hujan, dan di atasnya dibangun sebuah masjid.

Di dusun Banyubiru, Kyai Purwoto Sidik menetap hingga tutup usia. Beliau dimakamkan di utara sendang Banyubiru, yang kini karena alasan administratif menjadi dusun bernama Sarehan. Ki Ageng Banyubiru dimakamkan bersama kedua puteri, Nyai Gadung Melati dan Roro Tenggok. Uniknya, kedua puteri tersebut tak dibuatkan nisan. Kedua pengikut beliau, Gus Bambang dan Gus Purut dimakamkan dalam satu nisan untuk berdua.
.................... Makam Bumi Arum Majasto
Thursday, 26 March 2009 00:00
E-mail Print PDF

Majasto
Berada di puncak bukit setinggi kurang lebih 60 meter di Pegunungan Kendeng Kidul, Desa Majasto, Tawangsari seraya memandang ke bawah, akan terlihat pemandangan asri. Hamparan sawah yang menghijau dan perumahan warga terasa menyejukkan mata.
Di puncak bukit itulah (10 km dari jantung Kota Sukoharjo) Kompleks Makam Ki Ageng Sutawijaya atau yang dikenal dengan nama Bumi Arum Majasto berada.

Semasa hidupnya, Ki Ageng Sutawijaya yang juga dikenal sebagai Joko Bodho adalah tokoh yang sangat sakti. Ini tak diragukan, karena selain putra nomor 107 dari raja Majapahit terakhir, Prabu Brawijaya V sekaligus guru Jaka Tingkir yang di kemudian hari menjadi Raja Pajang dan bergelar Sultan Hadiwijaya. Pada malam satu Sura, maupun malam Selasa dan Jumat Kliwon pengunjung membeludak.

Majasto
Majasto
Majasto
Majasto


Menurut generasi ke -11 juru kunci makam Ki Ageng Sutawijaya ini, ada yang istimewa terkait kondisi makam yang lebih dikenal sebagai Makam Majasto ini. Tanah di makam yang juga digunakan sebagai tempat pemakaman umum itu tidak seperti layaknya tanah di makam-makam umum lainnya.

Bagaimana tidak? Jika di makam umum lainnya untuk mengubur jasad mayat harus dalam kedalaman tertentu untuk mencegah bau mayat. Maka di makam tersebut mayat cukup dikubur sedalam 50 cm saja.

Majasto
Anehnya, meski tanahnya dangkal, jenazah tidak berbau. "Ini karena tanah di sini adalah tanah arum (harum-Red). Istilah harum di sini bukan secara kasat mata yang dapat dicium melalui hidung, melainkan melalui mata batin

babat pleret

Babad Tanah Plered
Plered adalah suatu kota Pusat Pemerintahan Mataram di bawah kekuasaan Raja Mataram Islam bergelar Kangjeng Susuhunan Prabu Amangkurat Agung atau Amangkurat I yang dimakamkan di Tegalarum ,ketika perang pemberontakan Trunojoyo.Beliau adalah Putera Sultan Agung yang ke 10 dari isteri Padmi (Permaisuri) Kangjeng Ratu Kencono berasal dari Kadipaten Batang ( Tegal ) atau Kangjeng Ratu Wetan Putera Raden Ronggo Wongsoadibroto ( Adiprojo ) ke 11,putera menantu Mandurorejo ke I.

Beliau naik tahta pada tahun : 1645 s/d 1677 M sehingga adanya pemberontakan Panembahan Maduretno alias Trunojoyo, yang sebenarnya peperangan ini merupakan perebutan kekuasaa antara Ayahanda dan Putera Mahkota,dengan memperalat Trunojoyo dari Madura. Sampai sekarang tempat tersebut masih sebagai Pusat Pemerintahan tetapi hanya tingkat Kecamatan (Kapanewon=Panewu)agak menggeser 1 km ke Utara termasuk Kalurahan ( Penatus ) Pleret, Kabupaten Bantul,Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Ketika Pemerintahan Pusat Mataram masih dijabat Sultan Agung Hanyokrokusumo Segala sesuatunya dalam bidang kenegaraan maupun Pemerintahan sangat berkembang pesat , begitu pula dalam bidang kemiliteran sangat kuat dan mempunyai daya tempur yang tinggi. Pernah membuat Lumbung padi bersama-sama dengan orang-orang Sunda di Kerawang Jawa Barat, dengan maksud untuk persediaan supply prajurit sewaktu menyerang ke Batavia.

Untuk melatih prajurit lautan lalu membuat kolam telaga yang lebar dan luas disebut : SEGARA YASA, air diambil dari Kali Gajah Wong yang bertempur dengan Kali Opak didesa Wonokromo, tempat itu sekarang dihuni oleh penduduk sekitarnya lalu dinamakan Desa Segoroyoso.

Pada tahun 1628 M.Kangjeng Sultan Agung menyerang ke Batavia ( Jayakarta ) tetapi mendapat kekalahan yang besar , banyak prajurit yang kurang makan , mati kelaparan , kekurangan alat persenajataan, kekurangan meriam dan senjata api, tombak dan kapal, karena lumbung padi yang berada di Krawang dibakar oleh Belanda VOC. Benteng Kompeni VOC selain dibuat batubata juga dibagian luar banyak terdapat pohon -pohon bambu ori , agar Kompeni VOC dapat melihat Prajurit Mataram dari kejauhan Maka pohon-pohon bamboo-ori tersebut ditembaki nmemakai peluru uang-logam, karuan saja penduduk lalu merombak pohon-pohon bamboo tersebut untuk mengambil uang ,

sebaliknya Prajurit Mataram merasa marah lalu senjatanya diisi dengan tinja (kotoran manusia ) sehingga penduduk disana menyebut ambetai, lama-kelamaan beralih :Betawi

Sultan Agung merasa marah mendengar para prajuritnya selalu menderita kekalahan dan Jayakarta ( Sunda Kelapa ) telah diduduki Kompeni VOC,untuk hal ini Sultan Agung merasa terpukul keras,hingga menderita sakit ,akhirnya wafat dalam usia 55 tahun 1645. Beliau digantikan oleh Putera Mahkota bergelar : PRABU SUSUHUNAN AMANGKURAT AGUNG atau Susuhunan Amangkurat I seda Tegalarum , bertahta tahun 1645 s/d 1677 M.

Kemudian Keraton dipindahkan mleret ke timur , lalu disebut Kedhaton Pleret. Bekas Keraton Kerta hanya dipergunakan sebagai Pesanggrahan Keraton lama. Di Keraton baru , Kangjeng Sunan Mangkurat Agung masih juga aktif bersembahyang ke Masjid Agung Ngeksigondo ,dengan dikawal oleh para punggawa-punggawa Kraton yang begitu banyak ginarebeg ( dikawal ) para prajurit seakan-akan Kanjeng Susuhunan Amangkurat naik burung Garudha dari Keraton menuju ke Masjid

,hanya sekejab mata saja. Setelah bertahta agak lama, beliau hanya mementingkan kenikmatan keduniawian memelihara selir banyak, bahkan menyimpan gadis kecil yang dititipkan kepada Tumeng

gung Wirorejo agar nantinya setelah m enginjak dewasa akan dijadikan isteri muda. Gadis ini bernama :Roro Hoyi, gadis pingitan dari Surabaya yang dibawa Pangeran Pekik Adipati Surabaya (masih Paman Raja ,suami Ratu Mas Wandansari,adik Sultan Agung ).

Pada suatu hari Pangeran Adipati Anom (Pangeran Tejaningrat ) berkunjung kerumah Tumenggung Wirorejo bermaksud hanya main-main saja. dengan tidak terduga bahwa di Katemanggungan ada seorang gadis yang sedang membatik kain. Sang Pangeran merasa terpikat hatinya. demi melihat gadis cantik molek yang tumbuh di sebuah Tamansari Katemanggungan Wirorejan. Begitu pula Rara Hoyi setelah bertemu pandangan matanya , deras berdebar–debar jantungnya dan segera lari masuk ke Pendapa Katemanggungan sambil duduk termangu-mangu. Sang Pangeran manunggu kehadiran si Cantik Jelita,namun tidak mungkin keluar karena malu. Ki Tumenggung Wirorejo keluar menghadap Sang Pangeran dengan sembahnya, sambil unjuk atur : “ Pangeran .. anak gadis yang Paduka cari itu sebenarnya puteri Piningit dari Surabaya, yang akan menjadi isteri Ayahanda Raja Sunan Prabu Mangkurat Agung ..” Setelah Sang Pangeran mendengar keterangan dari Ki Tumenggung Wirorejo , segera minta pamit kembali ke Keraton . Di Kesatriyan Sang Pangeran tidak dapat tidur, dan selalu terbayang-bayang wajah gadis itu, selalu menggoda dipelupuk matanya, akhirnya Sang Pangeran jatuh sakit.

Hal ini terdengar oleh Kangjeng Ratu Wandansari, Isteri Pangeran Pekik , bahwa Sang Pangeran jatuh sakit wuyung, kasmaran dengan Roro Hoyi sengkeran Sang Prabu Susuhunan Amnangkurat I.

Atas persetujuan Pangeran Pekik, Rara Hoyi dibawa masuk ke Keraton dan ditempatkan di Kesatriyan, untuk mengobati penyakit Sang Pangeran. Pangeran Pekiklah yang bertanggung jawab apabila Sang Ayah marah, menurut pendapatnya mestinya sang Ayah mau mengalah dengan anaknya. “ Ora ana macan arep tegel mangan gogore … “ Dugaan ini ternyata meleset, setelah Sang Prabu mendengar Rara Hoyi jatuh cinta kepada Sang Pangeran,dan malah mendapat dukungan dari Pangeran Pekik,beliau geram dan murka. Maka Pangeran Pekik dan Kangjeng Ratu Wandansari serta Pangeran Tejaningrat begitu pula Tumenggung Wirorejo dan Nyi Tumenggung dipanggil menghadap

Susuhunan Prabu Amangkurat I. Dalam Pasewakan ( Rapat ) yang luar biasa Sang Raja marah - marah dan menjatuhkan hukuman mati kepada Pangeran Pekik dan Tumenggung Wirorejo berdua dan jenazahnya dimakamkan di Makam Banyusumurup. Selanjutnya Pangeran Tejaningrat harus membunuh Rara Hoyi dari tangannya sendiri.. Pangeran Tejaningrat dengan membawa keris terhunus meninggalkan Paseban menuju ke Kesatriyan, sesampainya di Kesatriyan tidak tega akan menusuk Rara Hoyi. Rara Hoyi tanggap bahwa yang menyebabkan onar didalam Keraton Mataram adalah dirinya , maka setelah melihat Sang Pangeran membawa keris terhunus , ditubruklah keris itu sehingga tembus sampai kepunggungnya,Rara Hoyi meninggal seketika itu juga.

Geram Sang Prabu Susuhunan Amangkurat belum mereda, dan memerintahkan agar Kesatriyan dibakar habis-habisan, sedang Pangeran Tejaningrat diasingkan(dibuang) ke Hutan Larangan ( tutupan ). Di Hutan Tutupan Pangeran Tejaningrat kedatangan Pangeran Puruboyo Bantheng Wulung , mengajak Trunojoyo , anak kemenakan Adipati Cakraningrat dari Sampang Madura. Maksud kedatangan mereka mengajak perundingan, agar Sang Pangeran mau merebut kekuasaan Sang Ayah Prabu Amangkurat I, karena beliau bertindak sewenang-wenang terhadap anaknya saerta para kawulanya.Pangeran Tejaningrat menerima bujukan ini , dengan janji : Apabila Trunojoyo dapat menundukkan Prabu Amangkurat I ,akan diangkat menjadi Patih dikelak kemudian, setelah Pangeran Tejaningrat atau Pangeran Adipati Anom naik tahta kerajaan. Dengan kekuatan Prajurit yang luar biasa Trunojoyo menyerbu Kedhaton Plered, dibantu oleh orang-orang Makasar, Kraeng Galengsong, Kraeng Naba dan lain-lainnya , memporak-porandakan keadaan didalam Keraton .

Sang Pangeran dengan secara diam-diam menelusup ke Keraton, mengajak Sang Ayah Prabu Susuhunan Amangkurat Agung agar mau meninggalkan Keraton mengungsi ke barat untuk menyelamatkan diri. Trunojoyo dapat menduduki Keraton Plered dan mengangkat dirinya sebagai PANEMBAHAN MADURETNO dan semua isi Keraton disita dan dibagi-bagikan ke pada para prajuritnya , isteri Susuhunan , Kanjeng Ratu Kencono ( Kangjeng Ratu Kleting Kuning ) diboyong ke Kediri. Ditempat pengungsian Ajibarang Jawa Barat, Susuhunan Amangkurat I memerintahkan kepada anaknya agar mau merebut kembali Keraton Pleret , akan tetapi Sang Pangeran tidak sanggup melawan Trunojoyo, didalam batinnya beliau telah berjanji, bila Trunojoyo telah dapat menduduki Keraton tentu akan menyerahkan kedudukannya itu kepada Sang Pangeran,tetapi Trunojoyo melanggar janji dalam peribahasa Jawa disebut : Ngemut Gula krasa legi , eman yen nganti dilepeh ..Setelah Sri Susuhunan Amangkurat I memerintahkan , anaknya tidak mau kemudian mengeluarkan Prasapta ( Ipat-ipat ) bahwa : Semua keturunan Raja dilarang mengadakan Ziarah ke leluhurnya. Dibantu oleh Adipati Mertalaya di Tegal , Prajurit Mataram mengejar Prajurit Trunojoyo ke Kediri , namun kemudian Susuhunan Prabu Amangkurat I sesampainya di desa Pasiraman wafat dan dimakamkan di Tegalarum , Tegal , Jawa Tengah , sedang Sang Pangeran Adipati Anom memakai srempang Orange Nassau dari Belanda , diangkat menjadi Admiral mendapat sebutan : SUNAN AMANGKURAT AMRAL II .

Keadaan Kraton Pleret rusak dan tidak pantas lagi ditempati seorang Raja Muda , maka Keraton dipindahkan ke Kartasura , Kedhaton Pleret sekarang tinggal Patilasan berupa : Umpak , lantai dan sumur gumuling.

Surakarta, Desember 1787. Pamflet gelap menempel di tempat penyimpanan gamelan milik keraton. Isinya, sebuah gugatan untuk Pakubuwono III yang dituduh menyimpang. Raja Surakarta itu memang akrab dengan kolonial Belanda yang memeras tenaga rakyat, habis-habisan. "Mestikah orang-orang Eropa (dianggap) lebih kuat daripada Allah?" Surakarta sontak geger mencari-cari si pemasang pamflet. Tak tersedia petunjuk kecuali sebuah nama yang menyebut dirinya sebagai Susuhunan Ayunjaya Adimurti Senapati Ingulaga.
Pada waktu itu, tentu belum ada Jamaah Islam, Al Qaeda, Hamas, ataupun Jihad Islam. Tapi, kecurigaan aparatur asal Eropa sudah sejak lama dialamatkan pada Islam. Walhasil, seorang kyai ditangkap. Namanya, Kyai Alim Demak. Kyai yang buta huruf latin itu diseret jadi terdakwa. Sayang, belum ada presumption of innocence masa itu. Ia dihukum sebelum sempat diadili. Kyai Alim Demak disiksa hingga tewas. Kulitnya dikelupas selapis demi selapis. Tepat di bawah parasnya, pamflet yang menggemparkan itu, dibakar.

Raja Mataram putera Sultan Agung, Amangkurat I, murka sejadi-jadinya. Ada pembisik mengabarkan, ribuan ulama di wilayah kekuasaannya bersimpati pada Pangeran Alit yang tengah memberontak. Akarnya? Raja Mataram itu kerap mengorbankan rakyat demi kepentingan Belanda. Maka, bila Babad Tanah Jawi bisa dipercaya, 6000 orang--terdiri atas para ulama dan keluarganya--yang menjadi tersangka, dikumpulkan di alun-alun. Tanpa beban, dalam tempo kurang dari setengah jam semuanya tersungkur menjadi mayat tanpa kepala. Amangkurat I memerintahkan penyembelihan massal.

Pemberontakan, tokh, terus berlanjut. Kali itu di bawah pimpinan Pangeran Trunojoyo, asal Madura. Amangkurat I akhirnya tumbang, dan anaknya, Amangkurat II, diserahi Trunojoyo untuk melanjutkan kekuasaan ayahnya. Tapi, tak lama setelahnya, ketika para bupati diundang dan dikumpulkan di balairung kerajaan. Di hadapan mereka disuguhkan adegan mengerikan. Amangkurat II menikam Pangeran Trunojoyo, lantas membelah perut dan mengambil hatinya. Setelah dicincang, ia bagi-bagi pada para bupati untuk ditelan mentah-mentah, untuk menguji loyalitas.
Mbambhung
View Public Profile
Send a private message to Mbambhung
Find More Posts by Mbambhung
1 komentar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar